v

Monday, August 31, 2009

Ceritera 173



"Jikalah kau memahami"

Ceritera 172


Meneliti perjalanan sebuah organisasi mahasiswa Indonesia.

Sejarah Islah atau Unifikasi, Sebuah Memoir

Unifikasi atau dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah islah, selalu menjadi agenda rutin PB HMI MPO, terutama dalam rangka merespons dinamika Kongres teman-teman HMI Dipo. Biasanya pada Kongres HMI Dipo selalu saja tema unifikasi selalu muncul.

Setidaknya saya catat isu unifkasi muncul pertama pada Kongres PB HMI ketika Yahya Zaini turun dan digantikan Ferry Mursidan Baldan pada tahun 1990. PB HMI MPO yang dipimpin oleh Tamsil Linrung (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PKS) sempat merespons positif tema itu seperti di muat di salah satu media massa, dan menjagokan MS Ka’ban (sekarang Menteri Kehutanan RI) sebagai calon alternatifnya. Pada Kongres HMI MPO di Bogor pada tahun 1990 itu, beberapa cabang melakukan klarifikasi masalah ini, namun waktu itu PB HMI membantahnya. Klimaksnya ada seorang alumni mantan Bendahara Umum PB HMI era Harry Azhar Azis yakni Hadi Kusnan yang menyatakan bertanggungjawab terhadap proses itu dan siap dijatuhi sanksi.

Sejak itu, isu unifikasi sempat memudar, kemudian muncul lagi pada masa akhir periode Ketum Agus Pri Muhammad (1993-1995). Kebetulan ketika saya menjadi Ketum HMI Cabang Yogyakarta (1992-1993), saya didatangi mantan Ketua Umum HMI Cab Yogyakarta tahun 1958 Ahmad Arief beliau mengaku mendapatkan amanah dari Beddu Amang yang juga Mantan Ketum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1960-an untuk melakukan klarifikasi terhadap HMI MPO di Yogyakarta. Isu yang berkembang HMI MPO adalah gerakan Islam yang “radikal”, termasuk di dalamnya dalam menjalankan ibadah dan syariat. Bahka beliau menduga, HMI MPO tidak bersedia berjabat tangan. Waktu itu saya jelaskan bahwa HMI MPO hanya berusaha untuk mempertahankan hati nurani umat yang tetap memilih azas Islam dalam berorganisasi. Namun di luar azas itu, termasuk masalah ibadah dan lain-lain HMI MPO sama dengan mainstream umat Islam. Setelah pertemuan itu Ahmad Arief menyatakan akan menyampaikan masalah itu ke Beddu Amang.

Pada tahun 1994 setelah saya masuk PB HMI, Ahmad Arief mengundang PB untuk diskusi di rumah beliau. Pada diskusi itu, hadir pula AM Fatwa yang baru saja keluar dari penjara. Pada intinya pertemuan itu hanya bersilaturrahim. AM Fatwa menceritakan bahwa dulu PII pada masa akhir 1960-an juga pecah seperti itu, dialah yang mengambil inisiatif untuk menyatukan kembali PII. Beliau meminta PB HMI MPO juga dapat menjadi inspirator bagi usaha penyatuan itu.

Isu unifikasi kembali menghangat pada peride 1995-1997. Himbauan yang paling halus tentang unifikasi pernah dikemukakan oleh Anwar Haryono Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Sepengetahuan saya DDII merupakan organisasi Islam yang paling dekat dengan HMI MPO. Selain karena di dalamnya terdapat tokoh besar umat Islam Almarhum Mohammad Natsir yang menjadi inspirator teman-teman HMI MPO, juga banyak kegiatan pemuda dan pelajar Islam internasional seperti WAMY, IIFSO, Peppiat dan Riseap yang dikoordinir DDII masih melibatkan PB HMI MPO secara intens. Bagi HMI MPO kedekatan dengan DDII menjadi penting, karena DDII masih mau menerima HMI MPO apa adanya, manakala banyak tokoh-tokoh Islam menutup pintu bagi HMI MPO. Sebagai contoh saja, ketika saya masih menjadi aktifis di Yogyakarta, sangat sulit menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh-tokoh Islam.

Setiap mengadakan LK II dan LK III, selalu kesulitan mencari penceramah. Beberapa ahli ilmu sosial politik UGM yang sebelum era HMI MPO cukup akrab seperti Amien Rais, Ichasul Amal, Yahya Muhaimin, dan Kuntowijoyo yang nota bene juga alumni, namun setelah tahun 1986, mereka sulit dihubungi. Diantara mereka ada yang tegas menolak. Ada juga yang bersedia, namun pada hari pelaksanaannya menghindar. Beberapa alumni yang masih bersedia mengisi acara HMI MPO diantaranya adalah Syafii Maarif dan Said Tuhuleley. Sementara yang bukan alumni, dan justru selalu bersedia mengisi pelatihan HMI antara lain adalah Mohtar Mas’oed, Damarjati Supadjar dan Abdul Munir Mulkhan.

Sudah menjadi agenda rutin pengurus baru PB HMI untuk bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh Islam. Pada silaturahmi PB HMI ke DDII pada tahun 1995 itu, Anwar Haryono dengan halus bertanya kapan HMI MPO bersatu dengan HMI Dipo. Kami jawab “kapan-kapan pak”, karena bagi HMI MPO bertahan terhadap azas Islam adalah sebuah pilihan. Beliau hanya menghimbau, bahwa persatuan umat Islam adalah nomor satu. Namun beliau tidak pernah memaksa dan memutus silaturrahmi kepada HMI MPO, karena tidak mau unifikasi. Diskusi yang menarik pada waktu itu justru pertanyaan beliau tentang siapa calon Presiden dari PB HMI MPO? Karena memang di HMI belum dibahas masalah itu, saya menjawab sekenanya “banyak calon potensial sebagai Presiden masa depan” antara lain seperti BJ Habibie, Pak Anwar berkomentar” Ya itu, cocok, beliau tokoh ICMI dan rajin puasa senin kamis”. Saya timpali “Mungkin Tri Sutrisno”, sekali lagi Pak Anwar mengamini. Kemudian terakhir saya juga menyampaikan “Gus Dur”, seketika Pak Anwar memotong dengan nada tinggi “Apa Abdurrahman Wahid! Bagaimana PB HMI MPO bisa mencalonkan dia, yang merubah assalamu’laikum menjadi selamat pagi (dan beberapa kritik lain yang standar terhadap Gus Dur)” Saya menyampaikan argumen bahwa bagaimanapun Gus Dur adalah aset bangsa yang mempunyai pendukung besar di kalangan Nahdliyin.

Rupa-rupanya masalah ini dianggap serius oleh Pak Anwar. Sampai-sampai nanti ada beberapa tokoh Islam yang dekat dengan DDII melakukan cek silang ketika berceramah di HMI Cab. Yogyakarta menanyakan siapa idola HMI MPO jawaban teman-teman di saja juga “Gus Dur”. Saya sempat dikontak teman yang dekat tokoh itu dan menanyakan mengapa idola HMI MPO Gus Dur, saya bilang saya tidak pernah menginstruksikan teman-teman cabang untuk sepaham dengan pemikiran saya. Namun itulah yang terjadi bahwa Gus Dur ketika itu sempat menjadi idola teman-teman HMI MPO. Padahal saya pernah dengar, bahwa sesungguhnya Gus Dur tidak senang dengan HMI MPO, karena menentang Azas Tunggal. Mungkin karena Gus Dur adalah arsitek penerima Azas Tunggal untuk NU pada awal tahun 1980-an. Kemungkinan besar penjelasannya adalah pada awal tahun 1990-an itu, posisi Gus Dur juga tengah termajinalkan oleh Pemerintah Orde Baru terutama ketika beliau mendirikan “Forum Demokrasi (Fordem)” seperti halnya posisi HMI MPO yang juga terpinggirkan pada waktu itu. Jadi mungkin ini hanya faktor persamaan nasib saja. Namun yang menarik adalah, ternyata KH. Abdurrahman Wahid benar-benar menjadi Presiden pada tahun 1999-2001. Mungkin sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Pak Anwar, apalagi oleh saya ketika itu. Dan yang membuat saya juga heran, ternyata selain kalangan Nahdliyin, hanya PB HMI MPO pada masa Yusuf Hidayat (1999-2002) dari kalangan organisasi Islam yang membela Gus Dur ketika beliau dijatuhkan dari kursi Presiden pada tahun 2001.

Pada tahun 1996, tarikan untuk melakukan unifikasi semakin kuat. Pertama kali beberapa alumni mengundang PB HMI di rumah makan Arab di Jalan Raden Saleh. Di sela-sela makan nasi kebuli, para alumni itu mengintroduksi kemungkinan unifikasi. Pertemuan ini merupakan pemanasan bagi pertemuan berikutnya bersama dengan alumni yang lebih senior. Pertemuan kedua, dimotori oleh Beddu Amang yang juga dihadiri oleh “Jenderal HMI” Achmad Tirtisudiro yang berlangsung di Restoran Korea Arirang di Blok M. Pada pertemuan ini untuk pertama kalinya saya berjumpa tokoh HMI MPO yang cukup “legendaris” yakni MS Ka’ban. Ketika saya ikut LK I nama ini sering disebut-sebut, karena posisinya pada awal berdirinya MPO sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta, sementara Eggy Sujana (Ketua Umum HMI MPO pertama) hanyalah Kabid Aparat-nya. Nama Ka’ban saya dengar lagi waktu saya hadir Kongres HMI MPO di Bogor, katanya Ka’ban dicalonkan oleh kubu MPO untuk menjadi Ketua Umum PB Dipo. Kata pendukungnya kalau Ka’ban menjadi ketua, maka urusan MPO dan Dipo akan beres. Namun sejauh itu saya baru mendengar namanya, belum pernah bertemu dengan orangnya. Baru di restoran Arirang itu, saya bertemu muka dengannya. Selain itu, alumni yang hadir antara lain adalah Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PPP) yang waktu itu menjadi redaktur Media Dakwah majalah DDII.

Pertemuan di Arirang ini pada awalnya adalah klarifikasi para alumni HMI MPO seperti Ka’ban dan Lukman Hakiem tentang berdirinya HMI MPO. MS Ka’ban menuduh bahwa alumni-alumni waktu itu, sempat membunuh karakter mereka. Sementara Lukman Hakiem menjelaskan bahwa dia tidak terlibat dalam pendirian HMI MPO. Diskusi itu berlanjut yang intinya Beddu Amang dan Achmad Tirtosudiro meminta agar HMI MPO mau melakukan unifikasi dengan HMI Dipo. Ketika kami menjelaskan mengapa kami memilih jalan seperti ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap kediktatoran rezim Orde Baru, beliau para alumni HMI senior tidak mau mendiskusikannya. Bahkan “Jenderal HMI” Achmad Tirtosudiro langsung memberikan instruksi “Saya minta HMI sudah unifikasi pada tanggal 10 Nopember 2006″. Saya tanya “mengapa tanggal itu?”, jawabannya ” Ya, itu hari pahlawan! momentum yang paling tepat untuk bersatunya HMI”. Akhirnya saya memberikan argumentasi “Begini pak, unifikasi bukan masalah sederhana, andaikan PB HMI menerima unifikasi pun, nanti justru akan muncul HMI MPO 1; HMI MPO 2; HMI MPO 3, itu jauh lebih rumit, bagi kami yang penting justru melakukan dialog terlebih dulu.” Rupa-rupanya “dialog” menjadi kata kunci pertemuan itu. Maka agenda berikutnya adalah mempertemukan PB HMI Dipo dan PB HMI MPO disepakati di rumah Beddu Amang.

Pertemuan di rumah Beddu Amang dihadiri oleh para alumni yang datang di Arirang diantaranya seperti Achmad Tirosudira, MS Ka’ban, Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem. Sementara Ketua umum PB HMI Dipo berhalangan hadir dan diwakili Ketua PT/Kemas Umar Husein (kalau tidak salah sekarang menjadi pengacaranya Ahmad Dani Dewa 19) dan Wakil Sekjen Sa’an Mustofa serta beberapa staf. Lagi-lagi dalam pertemuan itu juga tidak ada kesepakatan tentang unifikasi. Perwakilan PB HMI Dipo ketika itu menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengakui HMI MPO, karena HMI MPO berdiri di luar kongres. Sementara, PB HMI MPO menyatakan “dialog yes, unifikasi no”. Beberapa usulan yang berkembang dalam pertamuan itu cukup menarik untuk diungkapan di sini diantaranya adalah unifikasi justru harus dimulai dari bawah yakni komisariat dan cabang. Akan sulit unifikasi kalau tingkat komisariat dan cabang tidak pernah ada dialog dan kerjasama kegiatan. Yang terjadi justri pada tingkat komisariat dan cabang terjadi benturan yang keras. Oleh sebab itu, ada usulan sebaiknya HMI MPO dan HMI Dipo pada tiap tingkat perlu ada kerjasama kegiatan dulu, baru membahas unifikasi. Lagi-lagi “dialog” menjadi kesimpulan pertemuan itu. Bedu Amang berjanji akan mengkoordinir upaya dialog antara MPO dan Dipo pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Namun rupanya pertemuan berikutnya tidak pernah ada.

Masih pada tahun 1996 itu, terjadi lagi pertemuan tentang unifikasi, kali ini dimotori oleh Ismail Hasan Metareum kala itu sebagai Ketua Umum PPP. Pertemuan itu diadakan di rumah dinas beliau di Kompleks Kartika Candra. Beberapa alumni yang hadir pada pertemuan itu adalah AM Saefuddin, Yusuf Syakir, dan Lukman Hakiem. Sebelum acara dimulai kebetulan saya duduk disamping Metareum dan Yusuf Syakir, tanpa sengaja saya mendengar beliau mengatakan “Pak Yusuf, ini terpaksa kita undang Pak AM, karena ini adalah urusan HMI”. Memang dalam Muktamar yang baru saja digelar, sempat ada persaingan antara Ismail Hasan Metareum dengan AM Saefuddin. Yang akhirnya dimenangkan oleh Metareum. Forum dibuka oleh Metareum, dan kesempatan pertama diberikan oleh AM Syaefuddin untuk memberikan komentar tentang HMI MPO.

Rupa-rupanya AM Saefuddin langsung menyerang HMI MPO dan meminta untuk bubar atau bergabung dengan HMI Dipo. Teman-teman PB mencoba berargumen yang pertama, sdr Syafrinal (Kabid Aparat dari Cabang Krabes) menyatakan “Kalau pak AM benci dengan MPO, mengapa dulu membantu meminjamkan pesantren pertanian di Bogor untuk Kongres HMI MPO pada tahun 1990″. Jawaban Pak AM ” Maling saja kalau minta tolong akan saya bantu, apa lagi anda bukan maling!. Kemudian, sdr. Edi Darmoyo (Ketua Lapmi dari Cabang Semarang) menyatakan bahwa azas Islam adalah hati nurani umat, sementara PPP sebagai partai Islam mengapa justru mengabaikan ini, seharusnya PPP memahami hati nurani umat. Rupa-rupanya AM Saefuddin agak emosi dan keluar dari forum.

Berikutnya adalah pendapat dari teman-teman aktivis muda PPP yang juga alumni HMI yang menyerang HMI MPO habis-habisan. Mereka menyatakan supaya HMI MPO bubar saja, atau menanggalkan nama “HMI” atau kalau perlu HMI MPO melebur saja ke Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Dalam situasi seperti ini, justru yang membela HMI MPO adalah Yusuf Syakir. Beliau menyatakan usulan yang menyatakan bahwa HMI MPO harus bubar atau menanggalkan nama HMI itu tidak rasional. Karena kader HMI MPO kan selalu pakai simbol, hymne, bendera HMI. Yusuf Syakir mencontohkan bahwa hal serupa pernah terjadi kepada Kahmi, yakni arogansi PB HMI pada era tahun 1960-an, yang melarang Kahmi memakai simbol HMI. Terakhir Ismail Hasan Metareum memberikan komentar, namun sebelum beliau bicara, beliau meminta AM Syaefuddin masuk forum lagi. Setelah Pak AM masuk, Buya Ismail menyampaikan “Setelah saya mendengar diskusi tadi, menurut saya HMI MPO itu tidak apa-apa, yang penting jangan ditunggangi oleh pihak ketiga saja”. Pendapat Buya itu tentu saja di luar dugaan bagi kubu AM Syaefuddin, dan merupakan hawa segar bagi PB HMI MPO. Bacaan politik saya, dengan sangat halus Buya Metareum tengah “mengerjain” AM Syaefuddin dalam forum itu.

Dari serangkaian peristiwa di atas, saya merenungkan mengapa pada tahun 1996 itu para alumni getol mengkampanyekan unifikasi itu. Siapa key person yang bisa menjelaskan masalah ini. Akhirnya ketemu satu nama yang paling saya anggap tahu, karena selalu ada pada setiap forum-forum itu yakni Lukman Hakiem. Jawabannya sungguh mencengangkan. Bahwa para alumni itu sesungguhnya tersindir pernyataan Presiden Soeharto mengapa masih ada dalam tubuh Keluarga Besar HMI yang menolak Azas Tunggal yakni HMI MPO. Maka tidak aneh, kalau para alumni itu getol memprakarsai topik unifikasi itu.

Hingga akhir periode saya menjadi Ketua Umum isu unifikasi meredup. Namun pada awal periode Imron Fadhil Syam menjadi Ketua Umum bersamaan dengan Kongres PB HMI Dipo di Yogyakarta tahun 1997 isu unifikasi mencuat lagi. Bahkan beberapa alumni melakuan gerilya untuk melobi PB dan beberapa cabang untuk melakukan unifikasi. Namun lagi-lagi usaha ini tidak berhasil.

Demikianlah sekelumit sejarah tentang upaya unifikasi pada masa saya. Bagi saya topik unifikasi atau islah salah satu bagian yang selalu melekat dari keberadaan HMI MPO sampai kapan pun. Baik pada masa ini maupun masa yang datang. Topik itu akan semakin hangat mana kala HMI Dipo melakukan Kongres. Jadi saya berharap jajaran komisariat, cabang, badko melihat topik unifikasi atau islah sebagai sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. Sementara yang penting bagi PB adalah tetap memberikan penjelasan yang terus menerus kepada jajaran di bawahnya secara sabar dan arif, agar tidak terjadi kesalahpahaman internal. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amien.

Lukman Hakim Hassan

(Ketua Umum PB HMI 1995-1997)

Sumber: HMINews

Saturday, August 29, 2009

Ceritera 171




Rabu lepas, aku membeli dua buah buku lama; Ikhwanul Muslimin:Zaman Penyiksaan Penjara Dan Taligantung, tulisan Abdul Muta'al Al-Jabari terbitan GG Edar, tahun 1987 dan Partisipasi Dalam Pembangunan karya Prof. Dr. Deliar Noer terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), tahun 1977.

Buku Partisipasi Dalam Pembangunan baru kubaca mulai semalam, manakala buku Ikhwan masih dimulakan pembacaannya. Sekilas mengenai Prof. Dr. Deliar Noer dan buku Partisipasi Dalam Pembangunan seperti yang tercatat di kulit belakang buku tersebut:


PROF DR. DELIAR NOER
dilahirkan di Medan, Indonesia pada 9hb. Februari 1926. Setelah selesai pengajiannya di Universitas Nasional, Jakarta, beliau melanjutkan pelajarannya ke Amerika Syarikat dan memperoleh M.A. dalam ilmu politik, Cornell University. Pada tahun 1963, beliau dianugerahkan Ph. D. dalam Ilmu Politik dari Universiti yang sama.

PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN
asalnya ialah ucapan pengukuhan Dr. Deliar Noer selaku Rektor IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), Jakarta pada tahun 1974. Ucapan ini telah tidak sempat dilafazkannya kerana ucapan tersebut telah dibatalkan oleh pihak berkuasa di saat-saat akhir, dan berikutnya beliau telah 'dilepaskan' dari jawatannya selaku Rektor IKIP, Jakarta. Sekarang beliau bertugas sebagai Pensyarah di bidang Sejarah dan Politik Indonesia di Universiti Griffith, Brisbane, Australia.

Tulisan beliau yang lain antaranya ialah: Masumi: Its Organisation, Idealogy and Political Role in Indonesia, 1960; Pengantar kePemikiran Politik, 1965; Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terjemahan Robert Heine - Goldern, Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia; The Modernist Muslim Movement in Indonesia: 1900-1942, 1973 dan Mencari Jalan Keluar Dari Kemelut Sekarang, 1974.


P/s: Ilham Nur terinspirasi daripada Deliar Noer.

Friday, August 28, 2009

Ceritera 170



Hidden in the heart of the old city of Barcelona is the 'cemetery of lost books', a labyrinthine library of obscure and forgotten titles that have long gone out of print. To this library, a man brings his 10-year-old son Daniel one cold morning in 1945. Daniel is allowed to choose one book from the shelves and pulls out 'La Sombra del Viento' by Julian Carax.

But as he grows up, several people seem inordinately interested in his find. Then, one night, as he is wandering the old streets once more, Daniel is approached by a figure who reminds him of a character from La Sombra del Viento, a character who turns out to be the devil. This man is tracking down every last copy of Carax's work in order to burn them. What begins as a case of literary curiosity turns into a race to find out the truth behind the life and death of Julian Carax and to save those he left behind. A page-turning exploration of obsession in literature and love, and the places that obsession can lead.

Source: http://www.orionbooks.co.uk/

...

Bayang-bayang Angin. Begitulah jika diterjemahkan La sombra del viento daripada Bahasa Seponyol ke Bahasa Melayu. Khabarnya novel ini merupakan ceritera terulung Kesusasteraan Sepanyol setelah Don Quixote, kitab lagenda yang diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa.

Buku ini tersusun rapi bersama-sama novel-novelku yang lain terutamanya daripada koleksi sasterawan muda, Faisal Tehrani. Masih suci, belum dibaca. Lagaknya ibarat mengulangi novel The White Tiger yang tersadai beberapa lama di atas rak sebelum habis kubaca.

...

Bayang-bayang angin. Simbol untuk pembebasan. Simbol kemerdekaan. Dan semestinya, simbol kembali kepada fitrah.

Thursday, August 27, 2009

Ceritera 169



Ini artikel tahun 2006. Sudah tiga tahun berlalu sedari aku membacanya di dalam akhbar. Intipatinya yang masih berbekas menyebabkan aku mencarinya di dalam arkib maya Utusan. Nah, akhirnya, bertemu kembali.

Keasyikan perpustakaan

Oleh SALASIAH WAHAB

``Ketika memasuki perpustakaan itu, saya ibarat tenggelam dalam lautan buku yang mengasyikkan, saya ingin mencapai apa saja buku yang tersergam erat di celah-celah rak yang tersusun rapi dan terasa ingin membaca segala buku yang terdapat di dalamnya. Saya tidak tahu buku mana yang harus saya dahulukan tetapi `jiwa' saya seakan-akan berkata `` bacalah kesemuanya'' kerana kamu tidak mempunyai masa kerana terlalu banyak ilmu yang ingin diketahui.

Akhirnya saya capai apa saja buku yang hampir dengan saya dan `keghairahan' itu amat mempesonakan sehingga tanpa disedari masa telah lama berjalan. Saya tersedar apabila pustakawan memberitahu masa penutupan perpustakaan telah hampir.

Saya memandang raut mukanya (pustakawan), hati kecil seolah-olah mahu berkata: ``Tinggalkan aku bersendirian, jangan ganggu aku dalam keasyikkan pengembaraan ini, aku sedang berdialog dengan `orang-orang pintar dan bijaksana dari masa lampau dan ``mereka'' mencerdaskan aku,'' kata-kata ini diungkapkan oleh Matthews Battles dalam bukunya, Library: An Unquiet History (2004), ketika mengunjungi Perpustakaan Iskandariah, Mesir atau juga dikenali dengan Bibliotheca Alexandria yang cukup tersohor itu yang dibina pada tahun 290 SM. Malangnya perpustakaan itu menyimpan luka yang lama apabila dijarah oleh orang `luar'. Ada sejarahrwan berpendapat ia dilakukan oleh Julius Caesar apabila menakluki Mesir, sehinggalah ia dibangunkan semula pada tahun 2002.

Perpustakaan Iskandariah adalah perpustakaan leluhur, sebuah perpustakaan yang menjadi sumber pengetahuan bagi peradaban masa kini. Perpustakaan ini dikatakan pernah menyimpan 700,000 gulungan papyrus yang mengandungi maklumat dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Rupa-rupanya kunjungan Battles tidak sia-sia, ia mengubah masa depannya. Dia mula mengagumi perpustakaan. Dia terpesona dengan koleksi buku-buku, Dia merasakan keakraban buku dan perpustakaan dalam kehidupannya. Lalu, dia memilih kerjaya sebagai pustakawan dan inilah yang dilakukannya sebagai pustakawan yang mengurus buku-buku `nadir' atau buku-buku langka di Perpustakaan Houghton di Universiti Harvard.

Minat membacanya yang luar biasa dan kecintaannya terhadap ilmu tidak memungkinkannya memilih kerjaya lain selain daripada pustakawan. Battles rupanya belajar daripada tradisi intelektual silam. Dia belajar dari Al-Khawarizmi, Konfusius, Ibnu Maskawaih, Melvyn Dewey yang pernah menjadi pustakawan dan dia belajar juga dari Ibnu Sina yang amat mengagumi perpustakaan yang pernah meminta kebenaran daripada raja yang memerintah Hammadhan (wilayah di Iran) untuk menggunakan perpustakaannya sekiranya berjaya menyembuhkan penyakit raja tersebut.

Bijak

Memang sejarah tradisi kepustakawanan silam menunjukan bahawa orang-orang `berilmu-lah' yang selayaknya mengurus perpustakaan. ``Di perpustakaan, saya seolah-olah bercakap dengan minda terbaik sepanjang sejarah peradaban manusia. Di sinilah saya `menemukan' Albert Enstein, Isaac Newton, Ibnu Sina dan inilah kehidupan paling bijaksana bagi saya,'' kata Battles lagi.

Keterpesonaan terhadap perpustakaan membawa Battles berkelana dan menjelajah ke hampir semua perpustakaan besar dunia. Dia mengunjungi British Library, Perpustakaan Vatican, Perpustakaan Negara Iran, Perpustakaan Louvain, Jerman. Kesemua pengembaraan mempesonakan ini dituangkannya dalam buku Library: An Unquiet History. Di British Library, dia terpegun melihat naskhah asli Magna Carta yang disebut-sebut sebagai dokumen pertama (1215) yang menjamin hak asasi manusia dari cengkaman kekuasaan feudal.

Di situ juga ia melihat kitab Injil yang dicetak untuk pertama kalinya oleh Johann Guttenberg yang mencipta mesin cetak pada 1455. Tidak kurang juga ia melihat naskah al-Quran yang ditulis di atas perkamen (kulit binatang yang dijadikan semacam kertas) oleh Muhammad Ibnu Ali Wahid, yang dipersembahkan kepada Sultab Baybar, raja dari Dinasti Mamluk pada 1308-1309. Dia sempat juga melihat al-Quran dengan khat Maghribi, yang disalin dari Valencia, Andalusia, Sepanyol, pada abad ke-12. Sebuah koleksi yang amat jarang dijumpai, kerana sebahagian besar sudah musnah ketika Kristian kembali menguasai Sepanyol.

Pengalaman mempesonakan ini tidak kurang juga membuat Battles marah. Dia marah pada tentera Nazi Hitler yang menjarah perpustakaan Louvain dan perpustakaan di Belgium. Dia juga marah pada tentera Serbia yang menjarah perpustakaan negara dan Universiti Bosnia di Sarajevo yang menyimpan 5,263 manuskrip dalam bahasa Arab, Parsi, Ibrani, dan Adzamisjski (tulisan Slav Bosnia dalam skrip Arab). Battles tidak dapat menerima sebab kenapa manusia sanggup menghancurkan warisan kebijaksanaan manusia kerana ia tidak dapat dibangunkan lagi.

Dia percaya perpustakaan adalah pusat kelangsungan peradaban manusia dan bukan pusat `pembunuhan' ideologi. Nasib baik kini sudah ada program'mendigitalkan' manuskrip dan buku-buku lama dengan cara skan semua isi manuskrip dan buku-buku tertentu.Mudah-mudahan nanti kita bebas ``membalik-balik'', misalnya, semua halaman buku catatan Leonardo da Vinci tampa merosakkan naskah aslinya.

Melalui Library: An Unquiet History, kita seolah-olah di bawa Battles berada dalam lautan ilmu dalam perpustakaan. Di dalamnya kita terdedah kepada karya -karya pengarang dan pemikir besar dunia, sejarah perpustakaan dari dunia Timur ke Barat, sejarah tulisan bermula dari papirus, codex, tanah liat, kertas sehinggalah cetak, peristiwa-peristiwa penting yang menggembirakan dan menyedihkan yang berlaku pada perpustakaan.

Lebih dari itu, ia menyedarkan kita bahawa perpustakaan adalah `jantung' peradaban manusia dan khazanah kebijaksanaan manusia yang cukup berharga. Benarlah tajuk buku ini, Library: An Unquiet History, perpustakaan tidak pernah ``diam'' dan jemu mencerdaskan manusia sepanjang sejarah.

Sumber: Arkib Utusan Online

Ceritera 168

Keasyikan `memburu' buku terpakai

Oleh SHAHAROM TM SULAIMAN

Nama panggilannya Kamal. Bila suatu ketika dia tergopoh-gopoh dengan wajah ceria, itu bermakna dia baru saja `berburu' atau mendapatkan buku baru yang ingin ditunjukkan kepada penulis. Buku baru itu bukanlah baru dalam pengertian sebenar, sebaliknya buku baru yang terpakai yang dibelinya di toko buku terpakai Skoob Books, Petaling Jaya atau di toko buku Payless.

Tidak jarang juga Kamal selalu mendapatkan buku terpakai di toko buku Popular atau mana-mana toko buku terpakai kecil mamak yang berselerakan di Petaling Jaya dan Kuala Lumpur.

Umumnya, buku-buku yang dibeli Kamal sudah berwarna agak kecoklatan, dengan beberapa coretan di sana sini. Namun, ia bangga menunjukkan kepada penulis bahkan ghairah bercerita dengan hanya RM50, dia berjaya membeli empat buah buku terpakai, yang menurutnya, isinya masih relevan dengan situasi sekarang.

Dan ia menyebut sudah menghabiskan ratusan ringgit dalam tiga bulan terakhir untuk `memburu' buku-buku terpakai. Ia juga bangga mengatakan bahawa itulah yang kelak dapat ia wariskan pada anak-anaknya. Kamal memang tidak punya harta bertimbun tetapi di rumahnya penuh dengan `harta' ilmu berbentuk koleksi buku sehingga tiada ruang yang selesa untuk mengisi bukunya.

Seringkali terdengar juga leteran isterinya supaya mengawal nafsunya terhadap buku kerana ketiadaan ruang.

Seringkali juga Kamal mengungkapkan kekecewaannya, kerana ada sebuah buku yang ia ingin beli, tetapi koceknya ``menjerit''. Ia terpaksa rela buku yang ia minati itu diambil orang lain. Sebagai gantinya, di kesempatan lain ia memperoleh buku bagus yang sebenarnya pesanan orang lain. ``Pemesannya tidak datang berhari-hari. Jadi, saya jual dengan anda saja,'' ujar Kamal meniru cara penjual buku terpakai.

`Memburu' buku atau book hunting merupakan sejenis kegiatan unik yang disukai oleh para pencinta buku dan pengumpul buku (book collector). Kegiatan ini menawarkan keasyikan dan pesonanya yang tersendiri. Ia memerlukan ketekunan, kepintaran menawar, kesabaran, dan tenaga untuk mencari. Tanpa semua itu, nescaya buku yang diharapkan tidak akan datang dengan sendiri, kecuali nasib menyebelahinya. Sebaliknya, jika buku yang diinginkan berjaya diperoleh, sungguh itu suatu kenikmatan yang sukar dilafazkan dengan kata-kata.

Sekiranya dia ingin membeli buku-buku lama atau buku yang tiada lagi dalam cetakan, Kamal akan berkunjung ke Pulau Pinang yang masih lagi banyak terdapat toko-toko kecil buku terpakai atau pergi saja ke pasar Chowrasta, dan di situ Kamal akan `tenggelam' dalam keasyikan dunia buku. Bukan Kamal saja, tetapi sesiapa saja pencinta buku akan mengalami apa yang Kamal rasai.

Kalau nasibnya baik, dia mungkin mendapatkan buku-buku nadir (rare books). Buku terpakai dan buku nadir memang berbeza. Buku yang habis dibaca untuk kemudiannya dijual ke penjual buku, itulah yang disebut buku terpakai.

Jumlah buku jenis ini masih lagi banyak di pasaran. Buku nadir jelas memang buku lama, lazimnya tidak lagi diulang cetak, bahkan ada yang mendefinisikannya buku cetak sebelum 1900.

Jumlah buku jenis ini memang sedikit sekali dan sukar ditemui di pasaran dan harganya mencecah ratusan bahkan ribuan ringgit. Selalunya untuk buku jenis nadir ini, para pembeli dan peminat perlu mempunyai rangkaian atau jaringan kontak yang luas.

Lantaran itu, mengumpul buku terpakai atau nadir boleh menjadi hobi yang murah sekali gus mahal. Jika bernasib baik, sebuah buku yang mungkin bernilai tinggi, mungkin saja dapat dibeli dengan puluhan atau belasan ringgit saja, lantaran si penjual tidak mengerti atau memahami nilai sebenar buku tersebut. Misalnya, pengalaman penulis sendiri ketika membeli buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles dengan harga RM10 sedangkan sebuah syarikat pembekal buku nadir yang berpangkalan di Australia menjualnya dengan harga RM500. Memang menyimpan buku-buku nadir mempunyai `kelasnya' yang tersendiri

Namun begitu jika dibandingkan pasaran buku nadir dan terpakai di Indonesia, Malaysia masih jauh ketinggalan dan hampir sebahagian besar buku terpakai adalah novel-novel moden dan jarang sekali terdapat buku-buku umum atau buku-buku besar yang menggugah pemikiran.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, buku-buku nadir dan terpakai masih banyak pilihan. Berkunjunglah ke Pasar Senen atau Kwitang Raya di Jakarta, Jalan Palasari di Bandung atau Jalan Maliboro di Yogyakarta, kita akan menemukan bermacam ragam buku sehingga tidak tahu yang mana satu menjadi pilihan. Sekiranya bernasib baik, buku-buku lama cetakan di Malaysia pun boleh didapati. Kalau kocek tidak menjerit, mahu saja diborong kesemua buku-buku itu.

Begitulah, rupa-rupa wujud kecintaan para pemburu buku dan pengumpul buku. Mereka akan merasa gundah dan kecewa bila mana buku-buku nadir `terbang' ke luar negara dan menjadi koleksi bangsa lain yang lebih menghargai sejarah dan kebudayaan manusia. Sementara kaum berduit pula lebih suka mengumpul koleksi kereta mewah dan rumah serta memperbanyakkan ``teman-teman''.

Pada hemat penulis, langkah Perpustakaan Negara mengesan dan memperoleh buku-buku nadir di serata tempat dan belahan dunia merupakan langkah yang terpuji untuk memelihara khazanah intelektual negara. Kita tidak mahu lagi terjadi `kehilangan' warisan manuskrip Melayu yang banyak tersimpan di luar negara seperti di British Library, Bodlean Library atau di mana saja. Khazanah itu tidak mungkin lagi kita dapati dalam bentuk asal kerana mereka mengetahui manuskrip mahupun buku-buku nadir merupakan khazanah intelektual yang cukup berharga. Bukankah ada kata-kata yang mengatakan, `jika ingin menguasai minda sesuatu bangsa, kuasailah bahan-bahan penulisan mereka'. Dan, inilah yang dilakukan oleh Perpustakaan Kongres Amerika (Library Of Congress) yang membeli dan memperoleh seluruh bahan tulisan asli sesuatu bangsa dan negara di seluruh pelosok benua. Tidak hairanlah kalau Amerika `menguasai' dunia, namun begitu kita masih lagi boleh mengharapkan para pencinta buku untuk `menguasai' ilmu!

- Shaharom TM Sulaiman ialah pensyarah Fakulti Pengajian Maklumat Universiti Teknologi Mara.

Sumber: Arkib Utusan Online

Tuesday, August 25, 2009

Ceritera 167





Kebelakangan ini, masa yang ada kuisi dengan membaca buku tentang Mohammad Natsir.

Pak Natsir, sang peneraju Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia menjadi mauduk yang cukup menarik untuk dibicarakan dan diwacanakan. Kala aku menjadi peneman Bang Ichsan, wakil Persatuan Pelajar Indonesia (PII) yang menjadi salah seorang panelis dalam sebuah program di Kuala Lumpur, salah satu topik yang menjadi penyelamat kecanggungan kami berdua ialah dengan berbicara tentang Pak Natsir.

Pak Natsir, jasanya bukan hanya terbatas kepada pertiwinya, Indonesia, malah melangkaui sempadan, sampai ke Malaysia. Lanskap politik Islam yang wujud di Malaysia pada hari ini turut diwarnai oleh manusia bernama Mohammad Natsir ini. Maka malanglah, jika generasi baru yang mendukung aspirasi Islam tercicir daripada membicarakan idea dan peranan figura besar ini.

Sebagai apresiasi, nikmatilah artikel yang ditulis oleh Anwar Ibrahim, diterbitkan oleh majalah Tempo di bawah ini.

...
Natsir, Politikus Intelektual

# Anwar Ibrahim Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia


PERTEMUAN pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim dengan Indonesia. Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik di antara kedua negara—Indonesia dan Malaysia—pulih setelah mengalami konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu Indonesia dari sedikit pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka, dan lain-lain.

Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari Lebaran melalui Radio Republik Indonesia siaran Medan, yang saya dengar di kampung saya di Pulau Pinang. Ayah saya, yang ketika itu anggota parlemen dari partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya ini.

Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan beberapa pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana menemui kekasih yang belum pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi—aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia—saya lebih banyak mendengar dari berkata-kata.

Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu adalah sosok, sikap, dan tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di sana saya dibawa ke sebuah toko buku Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu. Toko buku tersebut merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur, Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Di toko itu, dan di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta, lantas membelinya.

Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, serta ideologi dalam perjuang­an dan gerakan politik. Saya kagum terhadap intelektualitas dan gagasan para filsuf. Melalui Capita Selecta saya tampak sosok intelektual Mohammad Natsir. Melaluinya saya mengenali Henri Pirenne, nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan polemik besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun Barat. Muhammad et Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan bagaimana Islam menjadi faktor penentu ­dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum di kalangan sarjana bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi rasionalisme, dan humanisme.

Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya diperkaya oleh imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan politik mutakhir. Tatkala saya sudah membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia, beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial di Malaysia, dengan kehadiran jumlah masyarakat Cina, India, dan lain-lainnya yang substantif. Beliau sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di antara organisasi Islam dan masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering meng­ulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan.

Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford, Inggris, dan beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, khususnya di Universitas Georgetown. Di universitas ini saya memberikan mata kuliah yang khusus tentang rantau ini, karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur Tengah dan negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga muncul persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi.

Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah ”demokrasi konstitusional” di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional democracy di dunia membangun selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar Said Co­kroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di negara Arab kita menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar. Di Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam.

Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan Islam, dengan intelektual muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna bagi generasi muda muslim di Malaysia. Di Kuala Lumpur hari ini terdapat anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka juga sebahagian dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih relevan dalam negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia.

Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia­ ialah Fiqud Dakwah. Saya selaku Presiden ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi­ Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi ka­mi.­ Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dak­wahnya bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi orga­nisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana.

Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya berkunjung ke Indonesia. Saya ingin menemui Pak Natsir di kediamannya, tapi beliau lebih dulu menemui saya di hotel. Saya sangat terharu karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia merupakan pemikir Islam besar. Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi.

Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan Petisi 50. Ternyata pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde Baru. Maka, ketika saya menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami hanya mengobrol secara umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam mendengar penjelasan saya.

Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasakan layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang adil dari luar rantau ini.

Sumber: Tempo

Monday, August 24, 2009

Ceritera 166

Usrah 2009

1. Abdul Hamid Siddique- Selection From Hadith

2. Abdul Muta’al Al-Jabari- Zaman Penyiksaan Penjara dan Taligantung Ikhwanul Muslimin

3. Abdul Qadir Audah- Kritik Terhadap Undang-Undang Ciptaan Manusia

4. Abdullah Nasih Ulwan- Hingga DiMengerti Generasi Muda

5. Abu Husny- Pembinaan Perundangan Hukum Islam

6. Ali Jarishah- Pendakwah Bukan Pelampau (Du’atun La Bughatun)

7. Badiuzzaman Said Nursi- Keikhlasan dan Persaudaraan

8. Deliar Noer- Partisipasi Dalam Pembangunan

9. Fadlullah Clive Wilmot- Gerakan Islam Kini

10. Hasa Ibnu Rifi- Siasah Syar’iyyah, Satu Muqaddimah

11. Ibnu Khaldun- Tentang Sosial dan Ekonomi

12. Ibrahim Zaid Al-Kailani- Falsafah Ketuhanan Menurut Al-Quran dalam Surah Al-An’am

13. Imam Habib Abdullah Al-Haddad- Penuntun Hidup Bahagia

14. Maryam Jameelah- Penjajah Barat Mengancam

15. Maududi- Mutiara Kenabian Dari Sirah Rasulullah

16. Mohd Anuar Tahir- Isu Budaya dan Komunikasi dalam Gerakan Islam

17. Muhammad Abduh- Ilmu dan Peradaban

18. Muhammad Abu Zahrah- Akidah Islam

19. Muhammad Qutb- Muslimkah Anda?

20. Mustafa Masyhur- Jalan Menuju Pembebasan

21. Razali Nawawi- Pendekatan Islam Terhadap Keadilan Sosial

22. Sayid Hawwa- 10 Aksioma Tentang Islam

23. Sayid Hawwa- Membina Angkatan Mujahid

24. Sayid Qutb- Beberapa Studi Tentang Islam

25. Sayid Qutb- Di Bawah Panji-Panji Islam

26. Yusuf Qardhawi- Islam Ekstrem

27. Ziauddin Sardar- Tantangan Dunia Islam Abad 21 (Menjangkau Informasi)

Sunday, August 23, 2009

Ceritera 165

Kesedaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.

- WS Rendra, 1984

Friday, August 21, 2009

Ceritera 164



Di ambang Ramadhan semalam, kutemukan buku ini di perpustakaan.

Semenjak beberapa hari ini, aku menjengah Rumi di alam maya sehinggalah aku menjumpainya di sini.

Rumi nama besar, baik di maghrib atau di masyrik.

Puisinya menjadi bacaan di Barat, dianalisa dan dikomentar.

Rumi menerangkan cinta dengan bahasa yang indah dan mengasyikkan.

Rumi, selepas lapan ratus kelahirannya, tetap jua akan dikenang selagi manusia mengenal cinta.

...

Jalaluddin Rumi

Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia


Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"

Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."

Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"

Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."

Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"

Aku berkata, "Sampai ada panggilan."

Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah

Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.

Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."

Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."

Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."

Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."


Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

œ

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya."

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.

œ

PENGARUH TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset.

Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.

Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.

Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."

Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.

Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.

Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

œ

WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Diambil daripada sini

P/s: Marhaban ya Ramadhan. Ayuh kita beusaha mencintai ALLAH sedaya mungkin, menumpang berkat Syahrut Tarbiyyah ini.

Thursday, August 20, 2009

Ceritera 163

1. IMAN yang teguh dan tak tergoyahkan.

2. KEIKHLASAN yang benar bukan kepura-puraan dan riak.

3. KEMAHUAN yang kuat, tidak kenal takut dan gentar.

4. KERJA KERAS tak kenal lelah.

5. BERKORBAN demi mencapai kemenangan atau mati syahid.

Hingga Dimengerti Generasi Muda oleh Abdullah Nasih Ulwan.

Ceritera 162

Behind a blood-stained curtain, love has spread its gardens.
Lovers are busy with the beauty of the love that is beyond explanation.
Intellect says: 'The six directions are the limit, there is nothing beyond them.'
Love says:'There is a road, and I have journeyed on it many times.'
Love detected markets beyond that market.
Intellect says:'Do not set foot on the land of annihilation;
There is nothing there but thorns.'
Love says;'Those thorns you feel are only inside you!
Be silent! remove the thorn of existence from the foot of the heart;
So that you may see the gardens within.'
O Shams of Tabriz! you are the Sun cloaked by the cloud of speech;
When your Sun rose, all the words melted!

(Divan 132:1-3, 6-8)

Wednesday, August 19, 2009

Ceritera 161

Now sleeping, now awake, my heart is in constant fervor.
It is a covered saucepan, placed on fire.
O you! who have offered us form a cup a silencing wine;
Each moment a new tale is shouting to be told in silence.
In his wrath there are a hundred kindnesses, in his meanness a hundred generosities;
In his ignorance immeasurable gnosis, silently speaking like the mind. The words of those whom you have silenced, cannot hear but those whom you have made uncounscious;
I am both silent and fermenting for you like the sea of Aden!

(Divan 1808:6-9)

Monday, August 17, 2009

Ceritera 160

Except in secret speak no more!

- Rumi

Wednesday, August 5, 2009

Ceritera 159

Meremang bulu roma membaca berita di bawah ini:

Jeff Ooi didesak letak jawatan

Ketua Menteri Pulau Pinang, Lim Guan Eng didesak supaya menuntut peletakan ketua kakitangannya, Jeff Ooi yang menuduh Jemaah Islah Malaysia (JIM) sebuah sebuah kumpulan pelampau.

Desakan tersebut dibuat oleh gabungan yang mewakili 27 pertubuhan Islam. Mereka cuba menyerahkan memorandum tersebut ke pejabat ketua menteri.

Bagaimanapun, Setiausaha Politiknya, Ng Wei Aik meminta mereka menyerahkan memorandum tersebut kepada beliau.

Berlaku sedikit ketegangan apabila mereka berkeras untuk menemui Lim, sedangkan Ng mahukan mereka menyerahkan memorandum kepadanya.

Apabila mereka enggan berbuat demikian, Ng memanggil pengawal keselamatan untuk membawa mereka keluar dari pejabat ketua menteri.

Berikutan itu, mereka kemudiannya menyerahkan memorandum tersebut kepada Timbalan Menteri Ketua Menteri, Mansor Othman.

Selain menuntut peletakan jawatan Jeff, mereka juga menuntut beliau yang juga ahli parlimen Jelutong, memohon maaf.

Manakala di luar kompleks kerajaan negeri itu, kira-kira 300 anggota gabungan berkenaan berhimpun untuk memberi sokongan kepada wakil mereka.

Delegasi tersebut kesal dengan kenyataan Jeff itu, yang dianggap mereka sebagai mendedahkan "kejahilannya mengenai masyarakat Islam". Baca berita penuh

Reaksi presiden JIM

Sementara itu, Presiden JIM, Zaid Kamaruddin menafikan tuduhan Jeff yang menggelarkan JIM sebuah pertubuhan pelampau.

"Jeff Ooi bermaksud demikian ekoran desakannya supaya seorang ahli jawatankuasa Pusat Khidmad Krisis Sehenti (OSCC) di bawah Dewan Bandaraya Pulau Pinang, Mohd Razali Abdullah diberhentikan daripada menganggotai jawatankuasa berkenaan.

"Mohd Razali, menurut Jeff Ooi merupakan 'ekstremis agama' kerana beliau merupakan ahli JIM, dan JIM pula meletakkan visinya untuk membangun sebuah negara yang melaksanakan syariat Islam sepenuhnya menjelang tahun 2020," kata Zaid dalam satu kenyataan hari ini.

Bagaimanapun, Zaid (kiri) menegaskan, mengamalkan syariat Islam dalam kehidupan merupakan aspirasi setiap umat Islam - bukan sahaja di Malaysia tetapi juga di seluruh dunia.

"Bahkan beliau percaya rahmat kebaikan Islam di Malaysia nanti akan turut dinikmati oleh seluruh rakyat. JIM yakin pegangan Islam Mohd Razali dan pengalaman profesionalnya akan menjadikan beliau lebih berkemampuan dalam menjalankan tanggungjawabnya," tambahnya.

Zaid turut menyuarakan rasa hairan bagaimana pelantikan seorang Muslim yang baik, boleh mengundang bahaya.

"Agama Islam telah berdiri teguh sejak sekian lama. Jadi, sebarang kekeliruan dan sikap prejudis orang ramai terhadap Islam yang timbul akhir-akhir ini tidak akan mengubah kesucian dan kerelevanan agama ini dalam masyarakat.

"Sebagai sebuah NGO yang bertanggungjawab, JIM berpegang kepada prinsip keamanan, kedaulatan undang-undang dan keadilan untuk semua.

"JIM juga akan terus berkempen agar hak dan maruah rakyat dipertahankan, kerajaan lebih telus dalam pentadbirannya dan pemerkasaan individu dan komuniti dapat direalisasikan melalui penglibatan rakyat dalam proses demokrasi," tambah Zaid.

Sumber: Malaysiakini