Tuesday, August 25, 2009
Ceritera 167
Kebelakangan ini, masa yang ada kuisi dengan membaca buku tentang Mohammad Natsir.
Pak Natsir, sang peneraju Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia menjadi mauduk yang cukup menarik untuk dibicarakan dan diwacanakan. Kala aku menjadi peneman Bang Ichsan, wakil Persatuan Pelajar Indonesia (PII) yang menjadi salah seorang panelis dalam sebuah program di Kuala Lumpur, salah satu topik yang menjadi penyelamat kecanggungan kami berdua ialah dengan berbicara tentang Pak Natsir.
Pak Natsir, jasanya bukan hanya terbatas kepada pertiwinya, Indonesia, malah melangkaui sempadan, sampai ke Malaysia. Lanskap politik Islam yang wujud di Malaysia pada hari ini turut diwarnai oleh manusia bernama Mohammad Natsir ini. Maka malanglah, jika generasi baru yang mendukung aspirasi Islam tercicir daripada membicarakan idea dan peranan figura besar ini.
Sebagai apresiasi, nikmatilah artikel yang ditulis oleh Anwar Ibrahim, diterbitkan oleh majalah Tempo di bawah ini.
...
Natsir, Politikus Intelektual
# Anwar Ibrahim Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia
PERTEMUAN pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim dengan Indonesia. Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik di antara kedua negara—Indonesia dan Malaysia—pulih setelah mengalami konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu Indonesia dari sedikit pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka, dan lain-lain.
Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari Lebaran melalui Radio Republik Indonesia siaran Medan, yang saya dengar di kampung saya di Pulau Pinang. Ayah saya, yang ketika itu anggota parlemen dari partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya ini.
Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan beberapa pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana menemui kekasih yang belum pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi—aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia—saya lebih banyak mendengar dari berkata-kata.
Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu adalah sosok, sikap, dan tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di sana saya dibawa ke sebuah toko buku Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu. Toko buku tersebut merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur, Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Di toko itu, dan di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta, lantas membelinya.
Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, serta ideologi dalam perjuangan dan gerakan politik. Saya kagum terhadap intelektualitas dan gagasan para filsuf. Melalui Capita Selecta saya tampak sosok intelektual Mohammad Natsir. Melaluinya saya mengenali Henri Pirenne, nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan polemik besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun Barat. Muhammad et Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan bagaimana Islam menjadi faktor penentu dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum di kalangan sarjana bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi rasionalisme, dan humanisme.
Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya diperkaya oleh imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan politik mutakhir. Tatkala saya sudah membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia, beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial di Malaysia, dengan kehadiran jumlah masyarakat Cina, India, dan lain-lainnya yang substantif. Beliau sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di antara organisasi Islam dan masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering mengulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan.
Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford, Inggris, dan beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, khususnya di Universitas Georgetown. Di universitas ini saya memberikan mata kuliah yang khusus tentang rantau ini, karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur Tengah dan negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga muncul persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi.
Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah ”demokrasi konstitusional” di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional democracy di dunia membangun selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar Said Cokroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di negara Arab kita menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar. Di Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam.
Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan Islam, dengan intelektual muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna bagi generasi muda muslim di Malaysia. Di Kuala Lumpur hari ini terdapat anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka juga sebahagian dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih relevan dalam negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia.
Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia ialah Fiqud Dakwah. Saya selaku Presiden ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi kami. Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dakwahnya bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi organisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana.
Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya berkunjung ke Indonesia. Saya ingin menemui Pak Natsir di kediamannya, tapi beliau lebih dulu menemui saya di hotel. Saya sangat terharu karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia merupakan pemikir Islam besar. Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi.
Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan Petisi 50. Ternyata pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde Baru. Maka, ketika saya menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami hanya mengobrol secara umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam mendengar penjelasan saya.
Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasakan layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang adil dari luar rantau ini.
Sumber: Tempo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment